Peran Seorang Humas Sangat Penting untuk Kemajuan Sekolah

Komentar:
Menurut saya, minimnya minat masyarakat Kebomas, Gresik, terhadap sekolah MI Sunan Giri karena kurangnya peran humas dari pihak sekolah untuk mengenalkan sekolah dasar berbasis agama itu kepada masyarakat setempat. Pentingnya hubungan dengan masyarakat yaitu sekolah bisa mawas diri karena masyarakat tahu tentang sekolah dan prestasinya, masyarakat ikut berpartisipasi mewujudkan cita-cita sekolah sebab sesuai dengan kebutuhannya dan sekolah lebih mudah dapat bantuan dan dana masyarakat serta dukungan dalam mewujudkan cita-cita pemerintah.
Agar kontak hubungan dengan masyarakat terjamin baik dan berlangsung secara kontinu, maka diperlukan peningkatan profesi anggota staf sekolah dari guru-guru. Disamping mampu melakukan tugasnya masing-masing di sekolah, mereka juga diharapkan mampu melakukan tugas-tugas hubungan dengan masyarakat. Melihat fungsi dan tugasnya yang cukup berat namun strategis ini idealnya seorang humas sekolah adalah guru yang memiliki kecerdasan inter dan intra personal atau kecerdasan sosial. Tipe kecerdasan ini yaitu kemampuan seseorang dalam memahami dirinya sendiri dan orang lain, dalam memotivasi, mempengaruhi, menghargai orang lain. Wakil kepala sekolah bidang ini dituntut memiliki akses keluar sekolah dalam menjalin kerjasama kemitraan dengan pihak luar. Untuk memberdayakan peran dan fungsinya itu, seorang humas harus memiliki program kerja yang terarah dan terukur.
Sekolah yang sudah bediri sejak lama itu perlu adanya program-program sekolah yang fresh dengan melibatkan masyarakat, agar masyarakat menjadi banyak tahu tentang mutu pendidikan di sekolah tersebut. Apalagi sekolah yang berdiri di tengah kota seharusnya diminati oleh banyak masyarakat, akan tetapi dengan biaya yang cukup tinggi orang tua lebih memilih untuk tidak menyekolahkan anak-anaknya. Pemikiran tu harus sedikit demi sedikit dihilangkan. MI Sunan Giri walaupun minim siswa, tapi mutu pendidikannya tidak kalah bagus dengan sekolah-sekolah dasar lainnya.
Dengan donatur yang cukup banyak dan jumlah siswa yang sedikit dapat diadakan program sekolah gratis untuk anak-anak masyarakat setempat dengan keadaan ekonomi orang tua yang kurang mampu untuk membiayai sekolah. Perlu diadakan pula penyuluhan untuk orang tua dan anak-anaknya bahwa sekolah dasar itu penting, apalagi bersekolah di MI Sunan Giri yang berbasis agama Islam, anak-anak dapat mempelajari ilmu keagamaan sejak dini, sehingga dapat menciptakan tunas bangsa yang berakhlak baik.
Selain itu program lain untuk mengenalkan sekolah dengan masyarakat yaitu mengundang masyarakat sekitar untuk memeriahkan hari besar keagamaan maupun kenegaraan. Dengan adanya komunikasi kontinu antara sekolah dan masyarakat, maka terciptalah hubungan baik dan menciptakan citra yang baik untuk sekolah tersebut, sehingga masyarakat lebih mempercayakan MI Sunan Giri tersebut sebagai sekolah dasar berbasis agama yang patut dijadikan tempat menuntut ilmu anak-anak mereka.

Aku Suka Hujan :)

Ah, musim hujan. Aku selalu suka hujan. Ada romantisme tersendiri dari hujan, entah kenapa, mungkin datang dari percampuran antara cemas menemukan tempat berteduh, pengharapan melihat pelangi saat hujan selesai, mencari kehangatan dalam suasana yang dingin dan merenung sendiri dari balik kaca jendela menatap keindahan bulir-bulir hujan yang turun. Hujan membawa itu semua: cemas, harapan, dan perenungan.
 
Aku suka hujan. Aku suka menatap hujan dari balik kaca jendela sambil melamun, melihat jalanan melalui kaca yang berembun. Lalu aku menghapusnya dengan tangan, kadang melukis dengan jari, entah itu gambar atau tulisan-tulisan tak menentu, kemudian aku menghapusnya, lalu menorehkan jemari kembali, hingga aku menghapusnya lagi. 

Aku suka hujan. Aku kecanduan menatap titik-titik air yang jatuh menerpa apa saja, percikan air saat hujan menancapkan kakinya ditanah hingga menciptakan lumpur dan genangan air, dan dedaunan yang bergoyang ketika disentuh bulir-bulir air. 

Aku suka hujan. Terutama aku suka bau air yang bercampur dengan tanah, aroma lumpur samar itu. Aku selalu menciumnya dengan brutal, menghirup dalam-dalam dan menahan napas, supaya tidak terlupakan oleh bau yang lain. Aku menelan baunya sambil memejamkan mata. 

Aku suka hujan Aku ingat, sewaktu masih kecil, aku selalu suka menari di bawah hujan, tertawa bersama teman-teman dan mengecap rasa asin yang mampir di bibir. Bergelut dalam kubangan lumpur, berteriak hingga mengalahkan suara petir. Lalu ketika dimarahi Ibu dan keesokannya harinya tubuhku meriang? Aku gak peduli.

Aku suka hujan. Hujan membawa hawa dingin, yang dapat membuatku menggigil, tanganku pucat, tulangku ngilu, dan bibirku biru. Saat itulah aku mencari kehangatan. Aku akan mengenakan jaket kesayanganku dan bergelung dibalik selimut tebal, menunggu rasa kantuk menyerang sampai aku terlelap. Aku suka, tidur dikala hujan. Saat aku bangun, aku kembali duduk di beranda menyaksikan sisa-sisa tetesan hujan sambil ditemani secangkir kopi kesukaanku. Kadang menunggu sebuah pelukan, entah dari siapa. 

Aku suka hujan. Aku jatuh cinta pada pelangi. Saat hujan reda aku selalu berharap akan munculnya pelangi. Aku menunggu tetesan air hujan membiaskan spekrum warna-warna indah. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu, tujuh warna yang menyatu membentuk lengkungan indah di kaki langit. Andai aku di negeri dongeng, aku akan ikut bersama bidadari meniti pelangi nenuju surga. 




Di Beranda Waktu Hujan



Kau sebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahari
yang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkan
warna-warni bunga yang dirangkaikan
) yang menghapus
jejak-jejak kaki, yang senantiasa berulang
dalam hujan. Kau di beranda,
sendiri, “Kemana pula burung-burung itu (yang bahkan
tak pernah kaulihat, yang menjelma semacam nyanyian,
semacam keheningan
) terbang; ke mana pula siut daun
yang berayun jatuh dalam setiap impian?”

(Dan bukan kemarau yang membersihkan langit,
yang pelahan mengendap di udara
) kau sebut cintamu
penghujan panjang, yang tak habis-habisnya
membersihkan debu, yang bernyanyi di halaman.
Di beranda kau duduk,
sendiri, “Di mana pula sekawanan kupu-kupu itu,
menghindar dari pandangku; di mana pula
(ah, tidak!) rinduku yang dahulu?”

Kau pun di beranda, mendengar dan tak mendengar
kepada hujan, sendiri,
“Di manakah sorgaku itu: nyanyian
yang pernah mereka ajarkan padaku dahulu,
kata demi kata yang pernah kuhafal
bahkan dalam igauanku?” Dan kausebut
hidupmu sore hari (dan bukan siang
yang bernafas dengan sengit
yang tiba-tiba mengeras di bawah matahari
) yang basah,
yang meleleh dalam senandung hujan,
yang larut....
-Sapardi Djoko Damono, 1970-